Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

Suami Pemimpin, Istri Shalihah Rakyatnya

Terinspirasi oleh firman Alloh ‘azza wajalla:
“laki-laki(suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri) karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka(laki-laki) telah memberi nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang sholihah adalah mereka yang taat (kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala), dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Alloh Subhanahu wa ta’ala telah menjaga mereka...”(QS.An-Nisa (4):34).

Maka penulis ingin memaparkan indah dan berkahnya suami sebagai pemimpin dan istri shalihah sebagai rakyatnya.

Suami sang pemimpin, suami sang nahkoda.
Mengapa sih suami harus menjadi pemimpin? Jawabnya mudah, “Alloh Subhanahu wa ta’ala-lah yang menghendaki demikian”. Perhatikan firman Alloh Subhanahu wa ta’ala diatas! Apakah bahaya jika pemimpin rumah tangga adalah seorang wanita? Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:”Tidak akan beruntung dan berkah suatu kaum yang menyerahkan urusannya(kepemimpinan) kepada seorang wanita”(Hadits Shahih Riwayat Imam Muslim).

Wah kalau begitu, apabila seseorang atau suatu kaum memaksakan dirinya untuk mengangkat seorang wanita menjadi pemimpin maka hukumnya: pertama, melanggar firman Alloh Subhanahu wa ta’ala dan sabda Nabi yang mulia, dan kedua, tidak akan mendapat keberkahan di sisi Alloh Subhanahu wa ta’ala bagi kaum tersebut. Wal’iyaadzubillah! Apa sesungguhnya hikmah dibalik semua itu? Alloh Subhanahu wa ta’ala telah menjawab dalam firmannya: Hikmah pertama, Alloh Subhanahu wa ta’ala telah melebihkan para suami dari para istri. Meskipun shalihah umpamanya. Atau lebih faqih(lebih faham). Oleh karena itu pada zaman para sahabat Nabi, seorang anak laki-laki kecil berusia mumayyiz(sekitar 7 tahun) telah menjadi imam bagi para wanita dari kalangan para sahabat Nabi. Hikmah kedua, para suami berkewajiban memberikan nafkah bagi istrinya atau istri-istrinya. Meskipun lemah mereka tetap wajib berusaha menafkahi istrinya. Sebesar apapun yang dia mampu. Hal ini tetap wajib hukumnya walaupun istrinya memiliki penghasilan dan mampu menafkahi dirinya.

Penulis kira sangat jelas. Bahkan sejak awal sebelum bahtera rumah tangga berlayar. Bukankah yang memberi mahar(maskawin) adalah suami?! Tentu saja cukup gamblang jika suami menjadi pemimpin rumah tangga.

Istri shalihah miniatur rakyat yang baik

Sebenarnya menciptakan suasana negara yang tertib, rapih, aman, tentram, sentosa, gemah ripah, repeh, rapih loh jinawi tidak terlalu rumit. Jika penulis meminiaturkan kepada suasana rumah tangga tentu sangat tepat. Misalkan setiap rumah tangga para istrinya shalihah dan anak-anaknya berbakti. Insya Alloh rumah tangga tersebut akan bahagia. Bahkan sangat bahagia. Begitu pula jika suatu negara rakyatnya baik sebaik wanita shalihah niscaya akan subur, makmur, aman, tentram dan penuh keberkahan baik dari langit maupun dari bumi. Dari langit berupa curahan hujan yang melimpan dan dari bumi berupa kesuburan tanah dan hasil bumi tak terhitung banyaknya. Subhanalloh!! Pantas Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:”Dan sekiranya penduduk negri beriman dan bertakwa pasti kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi..”(QS.Al A’raf(7) :96).

Masya Alloh indah sekali firman Alloh Subhanahu wa ta’ala diatas. Lalu? Apakah kriteria wanita shalihah itu? Sesungguhnya menjawab pertanyaan ini memerlukan kertas berlembar-lembar. Bahkan bisa jadi sebuah buku! Namun disini penulis hanya ingin menuliskan yang mudah saja bagi pembaca buletin yang berbahagia, Firman Alloh Subhanahu wa ta’ala diatas menjelaskan kriteria istri shalihah, diantaranya:

Pertama, Yang ta’at kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala. Ini namanya istri shalihah muthii’ah! Ketaatan kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala adalah ketaatan yang pertama dan paling utama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata: Tidak ada ketaatan yang lebih utama setelah ketaatan kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya selain kepada suaminya. Nah menurut keterangan Syaikhul Islam ini bisa disimpulkan bahwa ketaatan yang pertama taat kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala, yang kedua kepada Rosul-Nya dan yang ketiga kepada suaminya.

Kedua, Yang menjaga dirinya, kehormatannya, hartanya, dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada. Perkataan terakhir sangat menarik yaitu “ketika suaminya tidak ada”. Mengapa demikian? Jika seorang istri mampu menjaga kehormatan dirinya ketika suaminya tidak ada tentu dia akan lebih bisa menjaga diri ketika suaminya ada. Inilah istri shalihah. Karena perselingkuhan banyak terjadi saat suaminya tidak ada. Wal’iyaadzu billah! Istri afifah ini (baca: yang menjaga kehormatan dirinya) adalah istri dambaan setiap suami. Seorang suami akan merasa tentram, aman dan nyaman karena istrinya ‘afifah. Jika sebaliknya? Maka malapetaka yang akan menimpa rumah tangga tersebut. Pantas jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Dunia itu kenikmatan dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah wanita shalihah”(Hadits Shahih Riwayat Muslim).

Rumah tangga bahagia bukan tanpa problem.
Keliru sebagian penulis yang mengatakan rumah tangga bahagia adalah rumah tangga tanpa problem. Justru rumah tangga bahagia adalah rumah tangga yang ketika menghadapi suatu problem atau banyak problem akan berakhir dengan membawa keberkahan bahkan menambah keberkahan dalam rumah tangganya. Problem adalah ujian. Problem bukan sesuatu yang harus ditakuti. Justru problem adalah sesuatu yang harus dihadapi. Problem yang disikapi dengan benar akan berbuah keberkahan dalam rumah tangga. Apakah kita lupa dengan do’a saudara-saudara kita ketika di pelaminan dulu? Masih terngiang-ngiang ditelinga ucapan:
“Semoga Alloh Subhanahu wa ta’ala memberikan keberkahan (atas kebaikan) yang engkau peroleh, semoga Alloh Subhanahu wa ta’ala memberikan keberkahan (atas kejelekan) yang engkau terima dan semoga Alloh Subhanahu wa ta’ala mengumpulkan engkau berdua dalam segala kebaikan”(Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud)

Masya Alloh! Indah nian do’a itu! Yuk, kita tata rumah tangga kita dengan bermodalkan do’a tersebut. Betapa tidak! Sang suami sebagai pemimpin. Istri shalihah sebagai rakyatnya. Sang nahkoda seorang suami shalih dan penumpangnya istri shalihah, muthii’ah lagi ‘afifah. Wow! Tentram dan bahagia sekali rumah tangga itu. Nikmat dan nyaman sekali bahtera itu. Begitu pula suatu negara jika pemimpinnya adil dan memperhatikan syariat serta hukum Alloh Subhanahu wa ta’ala. Rakyatnya shalih, baik dan tidak suka merusak. Maka niscaya akan tentram negara ini dengan bersendikan nilai-nilai islam, keberkahan, kesuburan, ketentraman dan keamanan.

Perhatikanlah QS.An Nisa(4):34 itu. Di penghujung ayat, Alloh Subhanahu wa ta’ala menerangkan langkah-langkah penyelesaian problem rumah tangga dengan solusi yang sangat tepat, yaitu: Solusi pertama, dengan nasehat yang baik, Solusi kedua, dengan dijauhi(dibelakangi) di tempat tidurnya, Solusi ketiga, dengan dipukul tanpa bekas dan berdasarkan ayat lain, Solusi keempat, dengan diangkat hakam(pemutus hukum) dari kedua belah pihak. Nah ini adalah langkah tepat menyelesaikan problem rumah tangga. Begitu pula dalam urusan negara harus dengan solusi tepat. Jangan semata-mata memperturutkan hawa nafsu, kepuasan pribadi, ingin pujian atau gelaran dan sejuta solusi kacau lainnya. Demikian akhir uraian penulis dalam edisi kali ini. Semoga bermanfaat. Wallohul Musta’an.

Oleh : Abu Syalha Al Atsari 
Buletin Shalihah edisi 03 April 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar